(Oleh : A. Umar Said)
Tidak lama lagi bangsa kita akan merayakan Hari Proklamasi 17 Agustus yang ke 57 kalinya. Di tengah-tengah kesibukan kehidupan sehari-hari yang penuh hiruk-pikuk tentang persoalan politik, ekonomi, sosial, agama dan moral, banyak di antara bangsa kita yang sudah lupa akan arti penting hari besar nasional kita ini. Banyak pula di antara rakyat kita, yang karena beratnya himpitan kehidupan sehari-hari, maka terpaksalah hanya ikut merayakannya secara rutine saja, atau, bahkan, tidak bisa ikut merayakannya sama sekali. Atau, bahkan banyak yang tidak peduli lagi akan arti penting perayaan hari besar nasional kita ini. Sungguh, suatu hal yang menyedihkan, yang patut menjadi renungan hati nurani kita semuanya. Dan, lagi pula, renungan yang sedalam-dalamnya.
Sebab, kiranya tidaklah dapat disangkal lagi, bahwa sejak Orde Baru ditancapkan di negeri kita oleh regim militer Suharto dkk, maka - pada hakekatnya – arti perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus sudah mengalami distorsi besar-besaran, atau pengebirian yang tidak tanggung_tanggung. Kalau ditelaah dalam-dalam, maka nayatalah bahwa sejak Orde Baru di dibangun oleh regim militer (artinya : Golkar ditambah ABRI beserta para pendukung-pendukungnya) maka terjadi pemandulan yang melumpuhkan semangat perjuangan revolusioner bangsa kita. Sejak itu, perayaan 17 Agustus sudah kehilangan ciri-ciri aslinya yang sejak tahun 1945 sampai 1965 telah menjadikannya sebagai sumber semangat perjuangan revolusioner bagi rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Memang, selama pemerintahan Orde Baru, Hari Proklamasi 17 Agustus juga selalu dirayakan setiap tahun. Upacara penaikan bendera pusaka diselenggarakan dengan khidmat, pidato-pidato para pejabat - yang isinya kebanyakan berupa pemamahbiakan jargon-jargon politik yang kosong atau palsu - diperdengarkan di kalangan pemerintahan pusat maupun daerah-daerah. Resepsi dengan pakaian seragam Golkar atau Korpri diadakan dengan meriah di setiap gubernuran, kabupaten dan kecamatan, lengkap dengan kehadiran ibu-ibu dari Dharma Wanita dengan pakaian dan hiasan yang mewah-mewah. Segala macam acara dan panitia telah disusun, dengan anggaran-anggaran yang digelembungkan. Rakyat di desa-desa juga digiring (dikerahkan) untuk berpesta-pora dengan beraneka-ragam upacara dan acara, dari memanjat pohon jambe, lomba lari dengan karung, atau meramaikannya dengan bunyi mercon dan kembang api.dan suara dangdut. Tetapi, apa saja yang berdiri di belakang itu semua?
ORDE BARU TELAH MEMBUNUH REVOLUSI
Barangkali, kalimat yang berikut terasa agak terlalu polos, atau kedengaran “gegabah” bahkan nampak “sembarangan” ketika dikatakan bahwa Orde Baru yang dibangun regim militer Suharto dkk telah membunuh revolusi bangsa Indonesia. Sampai di manakah kebenaran (atau kesalahan) ungkapan ini, barangkali para pakar sejarah, para pakar politik, dan pakar-pakar lainnya dalam masyarakat, dapat merenungkannya dan memberikan sumbangan bagi pencerahan yang setepat-tepatnya dan seadil-adilnya.
Sebab, apa yang telah dilakukan oleh Orde Baru selama lebih dari 32 tahun, dengan jelas menunjukkan betapa besarnya kerusakan terhadap apa yang dibangun oleh para pejuang dan perintis kemerdekaan bangsa kita. Pada hakekatnya, dengan pembunuhan besar-besaran tahun 1965 dan penangkapan ratusan ribu tahanan politik, yang diperkuat dengan penggulingan Presiden Sukarno serta penahanannya, maka perjuangan revolusioner yang dilancarkan oleh rakyat Indonesia telah ditelikung atau dikhianati oleh Orde Baru. Sejak itu, setiap kali 17 Agustus dirayakan, maka setiap kali itu pula Orde Baru menjatuhkan pukulan beratnya kepada cita-cita revolusi bangsa Indonesia. Memang, teks proklamasi dibacakan kembali pada kesempatan semacam itu, tetapi tanpa penghayatan yang dalam (atau, yang benar) tentang arti proklamasi itu sendiri. Para tokoh pembangun Orde Baru tidak bisa (atau tidak mau!) mengerti bahwa proklamasi 17 Agustus adalah puncak dari perjuangan panjang yang telah puluhan tahun dilancarkan oleh berbagai suku rakyat Indonesia lewat pemimpn-pemimpin mereka, termasuk Bung Karno. Dengan menggulingkan dan “ memenjarakan” Bung Karno, pada hakekatnya Orde Baru telah “memenjarakan” revolusi bangsa Indonesia, yang lewat jurubicaranya (Bung Karno), sedang melakukan perjuangan terhadap neo-kolonialisme dan imperialisme, dalam konteks waktu itu.
DIPERLUKAN KEPEMIMPINAN NASIONAL YANG KUAT
Kali ini, bangsa kita merayakan Hari Proklamasi 17 Agustus ketika berbagai krisis multi-dimensional sedang melanda dengan dahsyatnya negeri kita. Begitu banyaknya persoalan-persoalan rumit dan gawat sedang bertumpuk-tumpuk, sehingga banyak di antara kita yang tidak tahu lagi apa jadinya bangsa dan rakyat kita nantinya di kemudian hari. Utang luarnegeri kita sudah sedemikian besarnya, sehingga anak-cucu kita pun harus ikut menangungnya dengan berat di kemudian hari. Utang dalamnegeri pun merupakan beban yang amat besar, sedangkan pengangguran (yang sudah mencapai lebih dari 40 juta) akan diperparah lagi dengan diusirnya 480 000 orang TKI dari Malaysia. Korupsi di kalangan atas masih berjalan terus, baik di kalangan atas eksekutif, legislatif, judikatif; bahkan di kalangan agama (Menurut harian Republika 9 Agustus 2002, pihak kejaksaan saat ini sedang melakukan pemeriksaan laporan Inspektorat Jenderal Dep. Agama mengenai dugaan adanya penyimpangan senilai Rp 116 milliar di lingkungan Dep. Agama !).
Kegagalan pembrantasan korupsi yang sudah mengganas di kalangan atas selama puluhan tahun ini menunjukkan bahwa kerusakan sistem hukum dan peradilan punya hubungan yang erat dengan kerusakan moral. Kerusakan moral inilah yang juga menyebabkan adanya keruwetan-keruwetan politik, baik di kalangan DPR maupun MPR atau di masing-masing partai politik dan golongan. Perebutan secara kotor untuk menggaet kekuasaan, pengaruh, kedudukan sering dilatarbelakangi oleh perhitungan pencarian peluang untuk maling dana guna kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Banyak pejabat-pejabat tingkat propinsi dan kabupaten (bahkan kecamatan) menjadikan pelaksanaan otonomi daerah sebagai “objek” untuk operasi-operasi selingkuh.
Dalam situasi yang keruh begitu itu, sisa-sisa kekuatan Orde Baru (di kalangan Golkar, militer dan partai-partai) tidak segan-segan menggunakan sentimen suku dan agama untuk menimbulkan berbagai problem yang eksplosif. Di antara mereka ada yang menggunakan Syariat Islam atau Piagam Jakarta sebagai alat untuk melakukan beraneka-ragam intimidasi politik, bahkan juga fisik. Agama Islam telah dikotori oleh sikap-sikap yang menunjukkan kecupetan fikiran (di antara begitu banyak contohnya, yang terbaru adalah peristiwa ancaman Majelis Mujahidin terhadap SCTV dan RCTI tentang tayangan iklan Islam Warna Warni). Makin terasalah akhir-akhir ini betapa pentingnya masalah kepemimpinan nasional, baik secara politik maupun moral. Namun, kepemimpinan nasional semacam itu tidak bisa diharapkan dari orang-orang yang masih bersimpati kepada Orde Baru. Sebab, pengalaman pahit lebih dari 32 tahun sudah menunjukkan bahwa dari orang-orang yang bersimpati kepada Orde Baru tidak bisa diharapkan adanya kepemimpinan yang baik bagi kepentingan rakyat banyak.
SITUASI INTERNASIONAL BEROBAH TERUS
Kali ini, kita akan merayakan Hari Proklamasi 17 Agustus dalam situasi nasional dan internasional yang berbeda dengan yang tahun 1945 dan juga yang tahun 1965. Bung Karno, antara 1945 sampai 1965 setiap tahunnya telah memberikan wejangan kepada bangsanya lewat pidato-pidatonya tentang apa arti revolusi untuk kemerdekaan dan perjuangan rakyat untuk mencapai masayarakat adil dan makmur. Pidato-pidato kenegaraan beliau ini dapat dibaca kembali dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Berlainan dengan pidato-pidato Suharto dan tokoh-tokoh Orde Baru lainnya, isi pidato beliau selalu sarat dengan pendidikan politik dan moral, dalam rangka “nation and character building”. Bung Karno selalu menganjurkan diteruskannya perjuangan revolusioner, dalam membangun dan mengkonsolidasi kemerdekaan Republik Indonesia, demi kepentingan rakyat terbanyak.
Bung Karno telah berjuang selama lebih dari 40 tahun (sejak usia muda beliau di tahun duapuluhan ) sebagai tokoh pemersatu bangsa. Melalui tulisan-tulisan dan pidato-pidato beliau (antara lain : Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Indonesia Menggugat, lahirnya Pancasila, Manifesto Politik, Tahun Vivere Pericoloso, To Build the World Anew dll dll dll) beliau telah membuktikan diri bukan saja sebagai pemersatu bangsa kita yang terdiri dari banyak suku dan agama, melainkan juga yang terdiri dari berbagai aliran politik, dalam melawan musuh bersama, waktu itu. Tidak bisa disangkal bahwa Bung Karno adalah pemimpin besar rakyat Inonesia pada jamannya, waktu itu. Sebagai seorang penganut Muhammadiyah, beliau dihormati oleh kalangan NU, dan oleh kalangan partai-partai (kecuali kalangan Masyumi dan PSI, yang terang-terangan mendukung pembrontakan PRRI-Permesta yang disokong oleh Amerika Serikat, waktu itu).
Sekarang, situasi dunia sudah banyak berobah. Perang dingin sudah lewat (secara garis besar), dengan ambruknya Uni Soviet dan munculnya kekuatan RRT dan juga dengan lahirnya Uni Eropa. Amerika Serikat, sebagai kekuatan politik, ekonomi dan militer yang terbesar di bidang internasional, terus memainkan perannya yang dominan. Aliansi baru atau persekutuan baru silih berganti. Yang tadinya musuh sekarang bisa menjadi sekutu, dan sebaliknya, dan sistem pemerintahan bisa pula berganti-ganti di banyak negeri. Berkat adanya kemajuan teknologi, persoalan ekonomi dunia makin menjadi lebih rumit dan lebih ruwet. Adalah menyedihkan sekali, bahwa dalam situasi dunia yang mengalami perobahan dan goncangan-goncangan yang begitu besar, sebagian besar bangsa kita kita masih belum bisa melepaskan diri dari cengkeraman sisa-sisa kebudayaan berfikir Orde Baru.
PERJUANGAN RAKYAT JALAN TERUS!
Perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus mengingatkan kita semua akan panjangnya jalan yang sudah ditempuh oleh bangsa Indonesia, di bawah pimpinan Bung Karno beserta kawan-kawannya (termasuk Bung Hatta), dalam perjuangan merebut kemerdekaan bagi bangsa kita Perjuangan inilah yang telah dikhianati oleh Orde Barunya Suharto dkk. Karena pengkhianatan ini, bukan saja Bung Karno telah dilikwidasi secara politik, melainkan juga secara fisik. Ajaran-ajaran beliau telah dilarang, Pancasila yang merupakan gagasan brilian beliau telah dipalsu menjadi barang dagangan yang menjijikkan, elan (semangat) revolusioner dalam mengabdi kepada kepentingan rakyat telah dipadamkan. Apa yang telah dibangun oleh Bung Karno selama lebih dari 40 tahun perjuangan telah dirusak habis-habisan oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 32 tahun. Kerusakan-kerusakan besar dan parah ini masih kita warisi sampai sekarang, dalam berbagai bentuknya dan, pula, beraneka-ragam bidangnya. Adalah menggembirakan bahwa walaupun menghadapi kesulitan yang banyak, rakyat kita (terutama kalangan generasi muda kita) tetap melakukan perjuangan dengan berbagai cara, untuk meneruskan perjuangan yang telah dirintis oleh para pendiri Republik kita, terutama perjuangan Bung Karno.
Beraneka-ragam kesalahan dan pengkhianatan Orde Baru telah merupakan pelajaran pahit tetapi berharga bagi bangsa kita, yang sejak lama mendambakan terciptanya masyarakat adil dan makmur. Dosa-dosa besar regim militer Orde Baru yang telah merusak dan kemudian mencampakkan gagasan-gagasan besar Bung Karno dalam mempersatukan bangsa “tanpa pandang bulu” (termasuk golongan PKI), telah (dan sedang terus!) diadili oleh sejarah. Rakyat kita berhak penuh dan sah untuk minta pertanggungan jawab para tokoh Orde Baru atas pensabotan mereka terhadap tujuan revolusioner Proklamasi 17 Agustus 1945. Para tokoh Orde Baru ini bukan saja telah menghancurkan tujuan proklamasi Republik Indonesia, melainkan juga telah mencuri - bahkan terang-terangan merampok (!) – hasil perjuangan para perintis kemerdekaan kita. Mereka telah menumpuk kekayaan dan berpesta-pora dalam kemewahan di atas kuburan para perintis kemerdekaan dan di atas penderitaan jutaan pejuang selama revolusi. Para tokoh Orde Baru ini (yang dewasa ini masih mempunyai banyak simpatisan-simpatisan di kalangan Golkar, dan di sebagian dari kalangan militer atau di sebagian kalangan Islam) adalah, pada hakekatnya, pengkhianat revolusi. (Ma’af, kalau ungkapan ini terasa terlalu kasar. Sebab,bahasa lainnya tidak ada bagi mereka).
Republik Indonesia baru berdiri selama 57 tahun. Dibandingkan dengan sejarah bangsa-bangsa lainnya di dunia, jangka waktu ini termasuk yang masih singkat sekali. Karena, banyak di antara negara-negara lain yang sudah berumur lebih dari ratusan tahun, bahkan lebih dari 500 tahun. Namun, Republik kita mempunyai ciri-ciri dan pengalaman-pengalaman penting dan menonjol sekali. Selama lebih separoh umurnya telah dikangkangi oleh suatu regime militer yang kekejamannya terkenal di dunia, bukan saja oleh karena adanya pembantaian jutaan manusia tidak bersalah, melainkan juga diinjak-injaknya HAM dan kehidupan demokrasi secara besar-besaran dan sistematis, selama puluhan tahun (!!!).
Sekarang kita sedang menyongsong Hari Proklamasi 17 Agustus 2002. Kita tidak boleh melupakan begitu saja apa yang telah terjadi di masa lalu, sebagai pelajaran bagi generasi kita dewasa ini dan generasi di masa datang. Dengan mengingat pengalaman masa lalu, maka kita bisa memandang dengan lebih jernih arah yang perlu ditempuh oleh bangsa kita di masa depan. Sebab, masih banyak sekali kerusakan-kerusakan parah yang dibikin Orde Baru yang harus diperbaiki, di samping adanya begitu banyak masalah-masalah baru yang muncul. Oleh karena itu, bagi rakyat Indonesia tidak ada jalan lain, kecuali meneruskan perjuangan revolusioner untuk menuntaskan reformasi dan membersihkan tanah-air dari sampah-sampah Orde Baru, sambil terus mengkonsolidasi demokrasi. Dirgahayu-lah Republik Indonesia yang ber Bhinneka Tunggal Ika!
Paris, musim panas, 11 Agustus 2002
Tidak lama lagi bangsa kita akan merayakan Hari Proklamasi 17 Agustus yang ke 57 kalinya. Di tengah-tengah kesibukan kehidupan sehari-hari yang penuh hiruk-pikuk tentang persoalan politik, ekonomi, sosial, agama dan moral, banyak di antara bangsa kita yang sudah lupa akan arti penting hari besar nasional kita ini. Banyak pula di antara rakyat kita, yang karena beratnya himpitan kehidupan sehari-hari, maka terpaksalah hanya ikut merayakannya secara rutine saja, atau, bahkan, tidak bisa ikut merayakannya sama sekali. Atau, bahkan banyak yang tidak peduli lagi akan arti penting perayaan hari besar nasional kita ini. Sungguh, suatu hal yang menyedihkan, yang patut menjadi renungan hati nurani kita semuanya. Dan, lagi pula, renungan yang sedalam-dalamnya.
Sebab, kiranya tidaklah dapat disangkal lagi, bahwa sejak Orde Baru ditancapkan di negeri kita oleh regim militer Suharto dkk, maka - pada hakekatnya – arti perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus sudah mengalami distorsi besar-besaran, atau pengebirian yang tidak tanggung_tanggung. Kalau ditelaah dalam-dalam, maka nayatalah bahwa sejak Orde Baru di dibangun oleh regim militer (artinya : Golkar ditambah ABRI beserta para pendukung-pendukungnya) maka terjadi pemandulan yang melumpuhkan semangat perjuangan revolusioner bangsa kita. Sejak itu, perayaan 17 Agustus sudah kehilangan ciri-ciri aslinya yang sejak tahun 1945 sampai 1965 telah menjadikannya sebagai sumber semangat perjuangan revolusioner bagi rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Memang, selama pemerintahan Orde Baru, Hari Proklamasi 17 Agustus juga selalu dirayakan setiap tahun. Upacara penaikan bendera pusaka diselenggarakan dengan khidmat, pidato-pidato para pejabat - yang isinya kebanyakan berupa pemamahbiakan jargon-jargon politik yang kosong atau palsu - diperdengarkan di kalangan pemerintahan pusat maupun daerah-daerah. Resepsi dengan pakaian seragam Golkar atau Korpri diadakan dengan meriah di setiap gubernuran, kabupaten dan kecamatan, lengkap dengan kehadiran ibu-ibu dari Dharma Wanita dengan pakaian dan hiasan yang mewah-mewah. Segala macam acara dan panitia telah disusun, dengan anggaran-anggaran yang digelembungkan. Rakyat di desa-desa juga digiring (dikerahkan) untuk berpesta-pora dengan beraneka-ragam upacara dan acara, dari memanjat pohon jambe, lomba lari dengan karung, atau meramaikannya dengan bunyi mercon dan kembang api.dan suara dangdut. Tetapi, apa saja yang berdiri di belakang itu semua?
ORDE BARU TELAH MEMBUNUH REVOLUSI
Barangkali, kalimat yang berikut terasa agak terlalu polos, atau kedengaran “gegabah” bahkan nampak “sembarangan” ketika dikatakan bahwa Orde Baru yang dibangun regim militer Suharto dkk telah membunuh revolusi bangsa Indonesia. Sampai di manakah kebenaran (atau kesalahan) ungkapan ini, barangkali para pakar sejarah, para pakar politik, dan pakar-pakar lainnya dalam masyarakat, dapat merenungkannya dan memberikan sumbangan bagi pencerahan yang setepat-tepatnya dan seadil-adilnya.
Sebab, apa yang telah dilakukan oleh Orde Baru selama lebih dari 32 tahun, dengan jelas menunjukkan betapa besarnya kerusakan terhadap apa yang dibangun oleh para pejuang dan perintis kemerdekaan bangsa kita. Pada hakekatnya, dengan pembunuhan besar-besaran tahun 1965 dan penangkapan ratusan ribu tahanan politik, yang diperkuat dengan penggulingan Presiden Sukarno serta penahanannya, maka perjuangan revolusioner yang dilancarkan oleh rakyat Indonesia telah ditelikung atau dikhianati oleh Orde Baru. Sejak itu, setiap kali 17 Agustus dirayakan, maka setiap kali itu pula Orde Baru menjatuhkan pukulan beratnya kepada cita-cita revolusi bangsa Indonesia. Memang, teks proklamasi dibacakan kembali pada kesempatan semacam itu, tetapi tanpa penghayatan yang dalam (atau, yang benar) tentang arti proklamasi itu sendiri. Para tokoh pembangun Orde Baru tidak bisa (atau tidak mau!) mengerti bahwa proklamasi 17 Agustus adalah puncak dari perjuangan panjang yang telah puluhan tahun dilancarkan oleh berbagai suku rakyat Indonesia lewat pemimpn-pemimpin mereka, termasuk Bung Karno. Dengan menggulingkan dan “ memenjarakan” Bung Karno, pada hakekatnya Orde Baru telah “memenjarakan” revolusi bangsa Indonesia, yang lewat jurubicaranya (Bung Karno), sedang melakukan perjuangan terhadap neo-kolonialisme dan imperialisme, dalam konteks waktu itu.
DIPERLUKAN KEPEMIMPINAN NASIONAL YANG KUAT
Kali ini, bangsa kita merayakan Hari Proklamasi 17 Agustus ketika berbagai krisis multi-dimensional sedang melanda dengan dahsyatnya negeri kita. Begitu banyaknya persoalan-persoalan rumit dan gawat sedang bertumpuk-tumpuk, sehingga banyak di antara kita yang tidak tahu lagi apa jadinya bangsa dan rakyat kita nantinya di kemudian hari. Utang luarnegeri kita sudah sedemikian besarnya, sehingga anak-cucu kita pun harus ikut menangungnya dengan berat di kemudian hari. Utang dalamnegeri pun merupakan beban yang amat besar, sedangkan pengangguran (yang sudah mencapai lebih dari 40 juta) akan diperparah lagi dengan diusirnya 480 000 orang TKI dari Malaysia. Korupsi di kalangan atas masih berjalan terus, baik di kalangan atas eksekutif, legislatif, judikatif; bahkan di kalangan agama (Menurut harian Republika 9 Agustus 2002, pihak kejaksaan saat ini sedang melakukan pemeriksaan laporan Inspektorat Jenderal Dep. Agama mengenai dugaan adanya penyimpangan senilai Rp 116 milliar di lingkungan Dep. Agama !).
Kegagalan pembrantasan korupsi yang sudah mengganas di kalangan atas selama puluhan tahun ini menunjukkan bahwa kerusakan sistem hukum dan peradilan punya hubungan yang erat dengan kerusakan moral. Kerusakan moral inilah yang juga menyebabkan adanya keruwetan-keruwetan politik, baik di kalangan DPR maupun MPR atau di masing-masing partai politik dan golongan. Perebutan secara kotor untuk menggaet kekuasaan, pengaruh, kedudukan sering dilatarbelakangi oleh perhitungan pencarian peluang untuk maling dana guna kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Banyak pejabat-pejabat tingkat propinsi dan kabupaten (bahkan kecamatan) menjadikan pelaksanaan otonomi daerah sebagai “objek” untuk operasi-operasi selingkuh.
Dalam situasi yang keruh begitu itu, sisa-sisa kekuatan Orde Baru (di kalangan Golkar, militer dan partai-partai) tidak segan-segan menggunakan sentimen suku dan agama untuk menimbulkan berbagai problem yang eksplosif. Di antara mereka ada yang menggunakan Syariat Islam atau Piagam Jakarta sebagai alat untuk melakukan beraneka-ragam intimidasi politik, bahkan juga fisik. Agama Islam telah dikotori oleh sikap-sikap yang menunjukkan kecupetan fikiran (di antara begitu banyak contohnya, yang terbaru adalah peristiwa ancaman Majelis Mujahidin terhadap SCTV dan RCTI tentang tayangan iklan Islam Warna Warni). Makin terasalah akhir-akhir ini betapa pentingnya masalah kepemimpinan nasional, baik secara politik maupun moral. Namun, kepemimpinan nasional semacam itu tidak bisa diharapkan dari orang-orang yang masih bersimpati kepada Orde Baru. Sebab, pengalaman pahit lebih dari 32 tahun sudah menunjukkan bahwa dari orang-orang yang bersimpati kepada Orde Baru tidak bisa diharapkan adanya kepemimpinan yang baik bagi kepentingan rakyat banyak.
SITUASI INTERNASIONAL BEROBAH TERUS
Kali ini, kita akan merayakan Hari Proklamasi 17 Agustus dalam situasi nasional dan internasional yang berbeda dengan yang tahun 1945 dan juga yang tahun 1965. Bung Karno, antara 1945 sampai 1965 setiap tahunnya telah memberikan wejangan kepada bangsanya lewat pidato-pidatonya tentang apa arti revolusi untuk kemerdekaan dan perjuangan rakyat untuk mencapai masayarakat adil dan makmur. Pidato-pidato kenegaraan beliau ini dapat dibaca kembali dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Berlainan dengan pidato-pidato Suharto dan tokoh-tokoh Orde Baru lainnya, isi pidato beliau selalu sarat dengan pendidikan politik dan moral, dalam rangka “nation and character building”. Bung Karno selalu menganjurkan diteruskannya perjuangan revolusioner, dalam membangun dan mengkonsolidasi kemerdekaan Republik Indonesia, demi kepentingan rakyat terbanyak.
Bung Karno telah berjuang selama lebih dari 40 tahun (sejak usia muda beliau di tahun duapuluhan ) sebagai tokoh pemersatu bangsa. Melalui tulisan-tulisan dan pidato-pidato beliau (antara lain : Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Indonesia Menggugat, lahirnya Pancasila, Manifesto Politik, Tahun Vivere Pericoloso, To Build the World Anew dll dll dll) beliau telah membuktikan diri bukan saja sebagai pemersatu bangsa kita yang terdiri dari banyak suku dan agama, melainkan juga yang terdiri dari berbagai aliran politik, dalam melawan musuh bersama, waktu itu. Tidak bisa disangkal bahwa Bung Karno adalah pemimpin besar rakyat Inonesia pada jamannya, waktu itu. Sebagai seorang penganut Muhammadiyah, beliau dihormati oleh kalangan NU, dan oleh kalangan partai-partai (kecuali kalangan Masyumi dan PSI, yang terang-terangan mendukung pembrontakan PRRI-Permesta yang disokong oleh Amerika Serikat, waktu itu).
Sekarang, situasi dunia sudah banyak berobah. Perang dingin sudah lewat (secara garis besar), dengan ambruknya Uni Soviet dan munculnya kekuatan RRT dan juga dengan lahirnya Uni Eropa. Amerika Serikat, sebagai kekuatan politik, ekonomi dan militer yang terbesar di bidang internasional, terus memainkan perannya yang dominan. Aliansi baru atau persekutuan baru silih berganti. Yang tadinya musuh sekarang bisa menjadi sekutu, dan sebaliknya, dan sistem pemerintahan bisa pula berganti-ganti di banyak negeri. Berkat adanya kemajuan teknologi, persoalan ekonomi dunia makin menjadi lebih rumit dan lebih ruwet. Adalah menyedihkan sekali, bahwa dalam situasi dunia yang mengalami perobahan dan goncangan-goncangan yang begitu besar, sebagian besar bangsa kita kita masih belum bisa melepaskan diri dari cengkeraman sisa-sisa kebudayaan berfikir Orde Baru.
PERJUANGAN RAKYAT JALAN TERUS!
Perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus mengingatkan kita semua akan panjangnya jalan yang sudah ditempuh oleh bangsa Indonesia, di bawah pimpinan Bung Karno beserta kawan-kawannya (termasuk Bung Hatta), dalam perjuangan merebut kemerdekaan bagi bangsa kita Perjuangan inilah yang telah dikhianati oleh Orde Barunya Suharto dkk. Karena pengkhianatan ini, bukan saja Bung Karno telah dilikwidasi secara politik, melainkan juga secara fisik. Ajaran-ajaran beliau telah dilarang, Pancasila yang merupakan gagasan brilian beliau telah dipalsu menjadi barang dagangan yang menjijikkan, elan (semangat) revolusioner dalam mengabdi kepada kepentingan rakyat telah dipadamkan. Apa yang telah dibangun oleh Bung Karno selama lebih dari 40 tahun perjuangan telah dirusak habis-habisan oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 32 tahun. Kerusakan-kerusakan besar dan parah ini masih kita warisi sampai sekarang, dalam berbagai bentuknya dan, pula, beraneka-ragam bidangnya. Adalah menggembirakan bahwa walaupun menghadapi kesulitan yang banyak, rakyat kita (terutama kalangan generasi muda kita) tetap melakukan perjuangan dengan berbagai cara, untuk meneruskan perjuangan yang telah dirintis oleh para pendiri Republik kita, terutama perjuangan Bung Karno.
Beraneka-ragam kesalahan dan pengkhianatan Orde Baru telah merupakan pelajaran pahit tetapi berharga bagi bangsa kita, yang sejak lama mendambakan terciptanya masyarakat adil dan makmur. Dosa-dosa besar regim militer Orde Baru yang telah merusak dan kemudian mencampakkan gagasan-gagasan besar Bung Karno dalam mempersatukan bangsa “tanpa pandang bulu” (termasuk golongan PKI), telah (dan sedang terus!) diadili oleh sejarah. Rakyat kita berhak penuh dan sah untuk minta pertanggungan jawab para tokoh Orde Baru atas pensabotan mereka terhadap tujuan revolusioner Proklamasi 17 Agustus 1945. Para tokoh Orde Baru ini bukan saja telah menghancurkan tujuan proklamasi Republik Indonesia, melainkan juga telah mencuri - bahkan terang-terangan merampok (!) – hasil perjuangan para perintis kemerdekaan kita. Mereka telah menumpuk kekayaan dan berpesta-pora dalam kemewahan di atas kuburan para perintis kemerdekaan dan di atas penderitaan jutaan pejuang selama revolusi. Para tokoh Orde Baru ini (yang dewasa ini masih mempunyai banyak simpatisan-simpatisan di kalangan Golkar, dan di sebagian dari kalangan militer atau di sebagian kalangan Islam) adalah, pada hakekatnya, pengkhianat revolusi. (Ma’af, kalau ungkapan ini terasa terlalu kasar. Sebab,bahasa lainnya tidak ada bagi mereka).
Republik Indonesia baru berdiri selama 57 tahun. Dibandingkan dengan sejarah bangsa-bangsa lainnya di dunia, jangka waktu ini termasuk yang masih singkat sekali. Karena, banyak di antara negara-negara lain yang sudah berumur lebih dari ratusan tahun, bahkan lebih dari 500 tahun. Namun, Republik kita mempunyai ciri-ciri dan pengalaman-pengalaman penting dan menonjol sekali. Selama lebih separoh umurnya telah dikangkangi oleh suatu regime militer yang kekejamannya terkenal di dunia, bukan saja oleh karena adanya pembantaian jutaan manusia tidak bersalah, melainkan juga diinjak-injaknya HAM dan kehidupan demokrasi secara besar-besaran dan sistematis, selama puluhan tahun (!!!).
Sekarang kita sedang menyongsong Hari Proklamasi 17 Agustus 2002. Kita tidak boleh melupakan begitu saja apa yang telah terjadi di masa lalu, sebagai pelajaran bagi generasi kita dewasa ini dan generasi di masa datang. Dengan mengingat pengalaman masa lalu, maka kita bisa memandang dengan lebih jernih arah yang perlu ditempuh oleh bangsa kita di masa depan. Sebab, masih banyak sekali kerusakan-kerusakan parah yang dibikin Orde Baru yang harus diperbaiki, di samping adanya begitu banyak masalah-masalah baru yang muncul. Oleh karena itu, bagi rakyat Indonesia tidak ada jalan lain, kecuali meneruskan perjuangan revolusioner untuk menuntaskan reformasi dan membersihkan tanah-air dari sampah-sampah Orde Baru, sambil terus mengkonsolidasi demokrasi. Dirgahayu-lah Republik Indonesia yang ber Bhinneka Tunggal Ika!
Paris, musim panas, 11 Agustus 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar